Menurut World Health Organization (WHO)
swamedikasi adalah pemilihan dan penggunaan obat baik obat modern
maupun obat tradisional oleh seseorang untuk melindungi diri dari
penyakit dan gejalanya (WHO,1998).
Sedangkan menurut The International Pharmaceutical Federation (FIP) yang dimaksud dari swamedikasi atau self medication adalah penggunaan obat non resep oleh seseorang atas inisiatif sendiri (FIP,1999).
Penggunaan Obat yang Rasional dalam Swamedikasi
Swamedikasi
memberikan kontribusi yang sangat besar bagi pemerintah dalam
pemeliharaan kesehatan secara rasional. Namun bila tidak dilakukan
secara benar justru menimbulkan bencana yaitu tidak sembuhnya penyakit
atau munculnya penyakit baru karena obat dengan segala konsekuensinya.
Untuk melakukan swamedikasi secara aman, efektif dan terjangkau,
masyarakat perlu melakukan bekal pengetahuan dan ketrampilan. Masyarakat
mutlak memerlukan informasi yang jelas dan terpecaya agar penentuan
kebutuhan jenis atau jumlah obat dapat diambil berdasarkan alasan yang
rasional (Suryawati,1997).
Untuk
mengetahui kebenaran swamedikasi (Menggunakan Obat secara rasional)
dapat digunakan indikator sebagi berikut (Depkes RI, 1996) :
1. Tepat
Obat, pelaku swamedikasi dalam melakukan pemilihan obat hendaknya
sesuai dengan keluhan yang dirasakannya dan mengetahui kegunaan obat
yang diminum.
2. Tepat golongan, pelaku swamedikasi hendaknya menggunakan obat yang termasuk golongan obat bebas dan bebas terbatas.
3. Tepat
dosis, pelaku swamedikasi dapat menggunakan obat secara benar meliputi
cara pemakaian, aturan pakai dan jumlah obat yang digunakan.
4. Tepat
waktu (Lama pengobatan terbatas), pelaku swamedikasi mengetahui kapan
harus menggunakan obat dan batas waktu menghentikannya untuk segera
meminta pertolongan tenaga medis jika keluhannya tidak berkurang.
5. Waspada
efek samping, pelaku swamedikasi mengetahui efek samping yang timbul
pada penggunaan obat sehingga dapat mengambil tindakan pencegahan serta
mewaspadainya.
Tanggung jawab dalam swamedikasi menurut World Health Organization (WHO) terdiri dari dua yaitu (WHO,1998) :
1. Pengobatan yang digunakan harus terjamin keamanan, kualitas dan keefektifannya.
2. Pengobatan
yang digunakan diindikasikan untuk kondisi yang dapat dikenali sendiri
dan untuk beberapa macam kondisi kronis dan tahap penyembuhan (Setelah
diagnosis medis awal). Pada seluruh kasus, obat harus didesain spesifik
untuk tujuan pengobatan tertentu dan memerlukan bentuk sediaan dan dosis
yang benar.
Masalah
– masalah yang umum dihadapi pada swamedikasi antara lain sakit kepala,
batuk, sakit mata, konstipasi, diare, sakit perut, sakit gigi, penyakit
pada kulit seperti panu, sakit pada kaki dan lain sebagainya (Edwards
& stillman,2000).
Peran Farmasis dalam Swamedikasi
Pelayanan
kefarmasian saat ini telah bergeser orientasinya dari drug oriented
menjadi klien oriented yang berdasarkan pada konsep “ Pharmaceutical Care” . Yang dimaksud dengan Pharmaceutical care adalah
tanggung jawab farmakoterapi dari seorang farmasis untuk mencapai
dampak tertentu dalam meningkatkan kualitas hidup klien (ISFI,2004).
Peran farmasis diharapkan tidak hanya menjual obat tetapi lebih kepada
menjamin tersedianya obat yang berkualitas, mempunyai efikasi, jumlah
yang cukup, aman, nyaman bagi pemakaiannya dan harga yang wajar serta
pada saat pemberiannya disertai informasi yang cukup memadai, diikuti
pemantauan pada saat penggunaan obat dan akhirnya di evaluasi. Pekerjaan
kefarmasian dilakukan berdasarkan pada nilai ilmiah, keadilan,
kemanusiaan, keseimbangan, dan perlindungan serta keselamatan klien atau
masyarakat yang berkaitan dengan sediaan farmasi yang memenuhi standart
dan persyaratan keamanan, mutu, dan kemanfaatan. Menurut World Health organization (WHO), peran farmasis dalam swamedikasi yaitu (WHO,1998) :
1. Komunikator (Communicator)
Farmasis
harus mempunyai inisiatif untuk berdialog dengan klien (dan dokter,
jika dibutuhkan) untuk menggali tentang riwayat kesehatan klien. Untuk
mendapatkan informasi yang benartentang kondisi klien, farmasis
mengajukan beberapa pertanyaan kepada klien misalnya mengenai keluhan
atau pengobatan yang pernah dilakukan klien. Dalam hal ini farmasis
harus mampu mengenali gejala penyakit tanpa melangkahi wewenang dokter.
Farmasis
harus memberikan informasi yang objektifyang diperlukan klien misalnya
mengenai cara penggunaan obat atau cara penyimpanan obat. Untuk itu
farmasis harus dapat memenuhi kebutuhan klien sebagai sumber informasi
tentang obat, mendampingi dan membantu klien untuk melakukan swamedikasi
yang bertanggung jawab atau bila perlu memberikan referensi kepada
klien untuk melakukan rujukan kepada dokter.
2. Penyedia obat yang berkualitas (quality drug supplier)
Seseorang
Farmasis harus menjamin bahwa obat yang disediakan dalam swamedikasi
berasal dari sumber yang dapat dipertanggung jawabkan dan berkualitas
bagus. Selain itu farmasis juga harus menjamin bahwa obat – obat
tersebut disimpan dengan baik.
3. Pengawas dan pelatih (trainer and supervisor)
Untuk
menjamin bahwa pelayanan yang diberikan berkualitas, maka farmasis
harus selalu membekali diri dengan ilmu – ilmu terbaru untuk
meningkatkan kemampuan profesional seperti mengikuti pendidikan
berkelanjutan.
Farmasis
harus menjamin bahwa pelayanan yang dilakukan oleh staf – staf yang
bukan farmasis memiliki kualitas yang sama. Karena itu farmasis harus
membuat protokol sebagai referensi bagi farmasis dan juga protokol bagi
pekerja kesehatan masyarakat yang terlibat dengan penyimpanan dan
distribusi obat.
Farmasis juga harus menyediakan pelatihan dan menjadi pengawas bagi staf-staf yang bukan farmasis.
4. Kolaborator (collaborator)
Farmasis
harus membangun hubungan profesional yang baik dengan profesional
kesehatan yang lain, asosiasi profesi nasional, industri farmasi,
pemerintah ( Lokal/Nasional ), klien dan masyarakat umum.
Pada akhirnya hubungan yang baik ini dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas dalam swamedikasi.
5. Promotor Kesehatan (Health promotor)
Sebagai
bagian dari kesehatan, farmasis harus berpartisipasi dalam
mengidentifikasi masalah kesehatan dan resikonya bagi masyarakat,
berpartisipasi dalam promosi kesehatan dan pencegahan penyakit dan
memberikan saran secara individual untuk membantu dalam menentukan
pilihan informasi tentang kesehatan.
FIP
juga merumuskan empat tanggung jawab farmasis dalam swamedikasi yang
dituangkan dalam kesempatan bersama asosiasi industri obat (WSMI).
Empat tanggungjawab tersebut yaitu (FIP,1999) :
1. Tanggungjawab
profesional farmasis untuk memberi informasi dan saran yang objektif
tentang swmedikasi dan obat – obatan yang tersedia untuk swmedikasi.
2. Tanggungjawab
profesional farmasis untuk melapor kepada pemerintah dan industri
farmasi apabila ditemukan adanya efek samping yang muncul pada individu
yang melakukan swamedikasi dengan menggunakan obat produk dari industri
farmasi tersebut.
3. Tanggungjawab profesional farmasis untuk merekomendasikan rujukan kepada dokter apabila swamedikasi yang dilakukan tidak tepat.
4. Tanggungjawab
profesional farmasis untuk memberi penjelasan kepada masyarakat bahwa
obat adalah produk khusus dan harus disimpan serta diberi perhatian
khusus. Farmasis juga tidak diperbolehkan melakukan hal yang dapat
memicu masyarakat membeli obat dalam jumlah banyak sekaligus.
Terdapat
beberapa hal yang harus di kuasai oleh seorang farmasis pada pelayanan
swamedikasi, yaitu (Blenkinsopp & paxton,2002):
1. Membedakan antara gejala minor dan gejala yang lebih serius.
“Triaging” adalah
istilah yang diberikan untuk membedakan tingkat keseriusan gejala
penyakit yang timbul dan tindakan yang harus di ambil. Farmasis telah
memiliki prosedur untuk mengumpulkan informasi dari klien, sehingga
dapat memberikan saran untuk melakukan pengobatan atau menyarankan
rujukan ke dokter.
2. Kemampuan mendengarkan (Listening skills)
Farmasis
membutuhkan informasi dari klien untuk membatu membuat keputusan dan
merekomendasikan suatu terapi. Proses ini dimulai dengan suatu
pertanyaan pembuka dan penjelasan kepada klien kemungkinan diajukannya
pertanyaan yang bersifat lebih pribadi. Hal ini diperlukan agar farmasis
dapat mengenali gejala lebih jauh, sehingga dapat merekomendasikan
terapi yg benar.
3. Kemampuan bertanya (Questioning skills)
Farmasis
harus memiliki kemampuan untuk mengajukan pertanyaan dalam usaha untuk
mengumpulkan informasi tentang gejala klien. Farmasi harus mengembangkan
suatu metode untuk mengumpulkan informasi yang terdiri dari
pertanyaan-pertanyaan dasar yang harus diajukan. Ada dua metode umum
yang digunakan.
Yang pertama disingkat sebagai WHAM
· W : Who is the patient and what are the symptoms (siapakah klien dan apa gejalanya)
· H : How long have the symptoms (berapa lama timbulnya gejala)
· A : Action taken (Tindakan yang sudah dilakukan)
· M : Medication being taken (obat yang sudah digunakan)
Yang kedua dikembangkan oleh Derek Balon, seorang farmasis di london yaitu ASMETHOD
· A : Age / appearance (Usia klien)
· S : Self or someone else (dirinya sendiri atau orang lain yang sakit)
· M : Medication (regularly taken on preskription or OTC) (Pengobatan yang sudah digunakan baik dengan resep maupun dengan non resep)
· E : Extra medicine (Usaha lain untuk mengatasi gejala sakit)
· T : Time persisting (lama gejala)
· H : History (iwayat klien)
· O : Other symptoms (gejala lain)
· D : Danger symptom (Gejala yang berbahaya).
4. Pemilihan terapi berdasarkan bukti keefektifan.
Farmasis
memiliki dasar pengetahuan farmakologi, terapeutik dan farmasetika yang
dapat digunakan untuk memberikan terapi yang rasional, didasarkan pada
kebutuhan klien. Selain melihat kefektifan bahan aktif suatu obat,
farmasis juga harus memperhatikan interaksi potensial, kontraindikasi,
peringatan, dan profil efek samping dari bahan – bahan tambahan yang
terkandung.
Farmasis
dapat menyarankan rujukan kepada dokter jika gejala timbul dalam waktu
yang lama, masalah berulang dan semakin parah, timbul nyeri yang hebat,
penggobatan gagal, timbul efek samping, dan gejala yang berbahaya.
Informasi Obat dalam Swamedikasi
Salah satu faktor penentu yang berperan dalam tindakan pengobatan sendiri atau self medication yaitu
tersedianya sumber informasi tentang obat dan pengobatan. Ketersedianya
sumber informasi tentang obat dapat menentukan keputusan dalam
pemilihan obat (Sukasedati, 1999). Informasi obat disini merupakan
tanggungjawab farmasis dan merupakan bagian dari konsep pharmaceutical Care.
Seorang
farmasis harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah
dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana dan terkini. Informasi
yang dapat diberikan oleh seorang farmasis dalam pelayanan swamedikasi
yaitu
(Jepson, 1990; Rudd C.C, 1983; WHO, 1998; MENKES RI,2004) :
1. Nama
obat dan kekuatannya, farmasis harus menjelaskan kesamaan penggunaan
obat paten dan obat generik, apabila suatu saat terjadi penggantian
obat.
2. Indikasi
dan aturan pakai, hal ini merupakan faktor penting yang harus di
ketahui klien saat menerima obat. Sehingga klien benar – benar mengerti
tentang waktu penggunaan obat dan instruksi khusus yang harus di
perhatikan oleh klien, misalnya “kocok dahulu” atau “harus diminum saat
lambung kosong”.
3. Mekanisme
kerja farmasis harus menjelaskan kerja obat sesuai dengan gejala yang
diderita klien. Sebab beberapa obat memiliki mekanisme kerja yang
berbeda, sesuai dengan indikasi terapinya.
4. Efek
pada gaya hidup, beberapa terapi dapat menimbulkan perubahan pada gaya
hidup klien misalnya mengurangi mengkonsumsi alkohol, merokok,
mengurangi olah raga berlebihan.
5. Penyimpanan
obat, informasi tentang cara penyimpanan obat sangat penting terutama
untuk obat – obat yang memiliki aturan penyimpanan tertentu, misalnya
harus di simpan di lemari es, harus disimpan terlindung dari cahaya atau
di jauhkan dari jangkauan anak – anank.
6. Efek
samping potensial, klien harus diinformasikan tentang efek samping yang
mungkin timbul dalam penggunaan obat. Efek samping tersebut dapat
berupa efek samping ringan yang dapat di prediksi, contoh perubahan
warna urin, sedasi, bibir kering dan efek samping yang perlu perhatian
medis, misalnya reaksi alergi, nausea, vomiting dan impotensi.
7. Interaksi
antar obat dan makan, farmasis harus memberikan informasi tentang
kemungkinan adanya interaksi antar obat yang digunakan ataupun dengan
makan yang di konsumsi oleh klien, sehingga klien dapat mengetahui
aturan pakai yang benar dari masing – masing obat, contohnya pemberian
antikoagolan berinteraksi dengan pemberian aspirin.
Informasi tambahan lainya yaitu pembuangan obat yang telah kadaluarsa dan kapan saatnya berkonsultasi ke dokter.